Pernikahan dan Secangkir Kopi

Jika dulu kamu bebas ngigau saat tidur tanpa ada hambatan dan gangguan apapun, jika dulu kamu sepuasnya pegang HP tak pandang waktu, jika dulu kamu santai ngatur jadwal nyuci pakaian kapanpun kamu mau, well.. kamu harus menerima kenyataan bahwa sekarang semua itu sudah masuk ke dalam past behavior list kamu. Dan itu hanya salah tiga dari sejubel kebiasaan yang sering kamu lakukan saat sebelum married alias masih single, yang kamu harus ikhlaskan berubah 1800 jika sudah berstatus married. Haha..

Hampir semua mantan single yang sekarang sudah berstatus married sepertinya mengalami hal yang sama. Dan mau tak mau harus dijalani. Banyak yang membuat diri merasa ‘terpaksa’ beradaptasi dengan lingkungan baru (Eits! don’t get me wrong 🙂 .. ). Banyak juga hal baru bahkan menurut kita aneh namun harus menjadi hal yang biasa dalam anggapan kita dan dijalani dengan penuh penerimaan. Banyak juga kebiasaan-kebiasaan yang totally kita tidak boleh membawanya ke lingkungan dan kehidupan baru setelah menikah. Ikhlas? Jangan ngomongin ikhlas lah ya.. karena ikhlas itu tidak diukur dengan kata “saya ikhlas” yang terucap dari bibir, melainkan dengan kepasrahan hati pada Sang Khalik yang telah mencatat dari awal jalan hidup kita, dan kepasrahan itu akan senantiasa hadir dalam setiap perbuatan sehari-hari kita. ‘asaa an takrahuu syai-an wa hua khairullakum, wa ‘asaa an tuhibbuu syai-an wa hua syarrullakum. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” (QS. 2: 216). Sebagai muslim, harusnya ayat ini bisa menjadi pengingat ketika sesuatu yang terjadi bertentangan dengan kehendak hati. Termasuk ketika menemukan hal baru yang tak biasa dan sulit dipahami. Jalani dan nikmati saja semampunya. Biar Allah yang menilai sejauh mana ikhlas itu terjaga dalam dada 🙂 ..

Nah, sekarang saya ingin bilang bahwa berumahtangga bukan hanya tentang itu. Baaanyak sekali hal baru yang menakjubkan dan membuat tercengang. Banyak juga kebiasaan lama yang dijalani dengan lebih menyenangkan dan terasa sempurna. Belum lagi pemandangan-pemandangan sejuk dan mengharukan yang tak jarang mengundang air mata bahagia. Intinya, semua hal yang akan kamu temui setelah menikah akan membawamu pada kebahagiaan yang tak berjeda, jika dinikmati 🙂 .

Memasuki hari ke-47 pernikahan -masih terbilang sangat muda dan baru-, saya masih asik menikmati masa peralihan dari single menjadi married. Sangat ma’lum bahwa banyak agenda rutin baik kelompok maupun pribadi yang masih tersendat bahkan belum berjalan seperti biasanya. Namanya juga masa peralihan, ya nggak? 🙂 Mungkin ini tantangan special dariNYA agar saya lebih apik lagi mengorganisir kuantitas waktu yang sama dalam kualitas waktu yang berbeda yang saya miliki sekarang ini.

Bicara soal masa peralihan, kedengarannya sedikit gimana gitu ya. Yang namanya masa peralihan ya memang begitu. Kesabaran, semangat, kejutan, pengertian, mendengar, belajar, semuanya ada dalam masa itu. Dan bagi kalian yang belum menikah, saya ingin bilang ke kalian bahwa itu semua sangat mudah untuk dijalani jika kita menikmati setiap alirannya. So to be honest, kalian tidak butuh waktu banyak untuk mempersiapkan diri sebelum menikah khususnya perempuan. Karena selama ini tak sedikit teman saya yang memvonis dirinya dengan ketidaksiapan menjalani pernikahan. Buang jauh-jauh kata “belum siap” jika ada lelaki ‘bagus’ yang mengajak kalian menikah. Karena sebenarnya bukan kesiapan yang mengantar kita pada pernikahan, tapi pernikahan itu lah nantinya yang akan menyulap diri kita menjadi seorang istri yang siap dengan segala keadaan.

Oke, kesiapan seperti apa yang saya maksud di sini? Sebenarnya ada dua hal yang dipikirkan seseorang sebelum menikah: ‘Kesiapan Menikah’ dan ‘Persiapan Pernikahan’. Persiapan pernikahan mencakup hal-hal yang real atau nyata atau nampak contohnya physical treatment dsb.. Kesiapan menikah lebih dimaksudkan ke pribadi orang tersebut seperti kondisi psikologi (psychological readiness) dsb.. Tapi saya cuma ingin bahas sedikit saja. Physical treatment sebelum menikah? Ini sebenarnya masuk ke kategori persiapan, tapi sedikit tidak sangat bisa berpengaruh ke kesiapan pribadi kita. So, perlu? Iya perlu, tapi needed level nya sangat sedikit. Jika boleh saya persentasekan, mungkin hanya 9,9 % 🙂 . Saya bilang begini karena saya sendiri mengalaminya. Sebelum menikah, rasanya rempong nian persiapkan semuanya terutama physical treatment, sampai saat mendekati hari pernikahan, usaha saya untuk tujuan yang saya inginkan itu bisa dibilang failed. Cukup cemas dan mengurangi kepercayaan diri. HahaTapi setelah menikah, semuanya jauh dari apa yang saya bayangkan. Bahagia karena failed mission saya ternyata tak berpengaruh sama sekali. Please listen to me, lelaki yang ingin menikahimu pastilah lelaki yang tak memandang hanya kecantikan fisikmu, tapi juga kecantikan yang tak terjamah oleh mata namun mampu terpancar sampai ke hati siapapun yang di dekatmu.

Sekarang bagaimana dengan psychological readiness? Memang perlu juga tapi bukan hal yang utama. Karena lambat laun, kesiapan psikologi akan terbentuk dengan sendirinya. Kesiapan psikologi berarti sejauh mana kesiapan kita untuk melakukan suatu tugas tertentu untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) (VandenBos, 2007). Jika dicerna dari pengertian tersebut, maka kesiapan psikologi akan menjadi matang seiring pengalaman-pengalaman yang dilalui dalam rumah tangga yang kemudian dijadikan bahan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Kita bicara di luar konteks usia ya teman-teman. Karena dari konteks usia beda lagi. Ada kesehatan de el el yang perlu didiskusikan. Itu kenapa sampai saat ini Pernikahan Dini masih menjadi perbincangan yang hangat. Oke, kita lewati masalah usia ya. Sekali lagi, kesiapan psikologi tak seharusnya menjadi pertimbangan yang berarti untuk menjemput pernikahan kita. Dalam hal ini, bisa dibilang pemimpin rumah tangga sangat berperan penting dalam membentuk kesiapan psikologi seorang istri. Jika benar dan baik memimpinnya, maka benar dan baik pula sesuatu yang dipimpin. Itu lah kenapa sebelumnya saya bilang jika ada lelaki ‘bagus’ jangan diundur waktu pernikahanmu apalagi ditolak. Tentu yang saya maksud di sini adalah bagus agama dan dunianya. Intinya ketika ada sosok baik yang ingin mempersuntingnmu, itu berarti menurut Allah kamu sudah siap secara mental dan fisik. No matter apa kata orang di luar sana, karena keberkahan dan kebahagiaan yang akan kamu temui setelah menikah sungguh tiada tara 🙂

Persis seperti secangkir kopi, pernikahan memuat pahit dan manisnya perjalanan. Iya, seperti perpaduan kopi dan gula yang menjadikannya secangkir kopi lezat, begitu lah cermin pernikahan yang memadukan perjalanan pahit dan manis lalu membentuk sebuah rasa bernama bahagia. Karena bahagia bukan hanya tentang kesenangan, tapi juga kesedihan. Kesenangan dan kesedihan yang dilalui bersama dengan penerimaan dan cinta 🙂

Note: tulisan di atas cuma opini penulis. Kebenaran hanya milikNYA.. 🙂

 

12 thoughts on “Pernikahan dan Secangkir Kopi

  1. Bikin greget nih tulisan.

    Namun, ada bebrapa hal yg menurut sy terbalik.
    Psikologis atau psikis, kalo menurut sy itu yg pertama disiapkan oleh seorang perempuan ketika akan mnjd seorang isteri.

    Jd kurang sependapat yg menyatakan setelah menikah maka akan berjalannya waktu psikologis akan terbangun dg sendirinya.

    Jd teringat beberapa hasil FGD bahwa ada org tua yg menyatakan bahwa Menikahkan anaknya adalah salah satu cara untuk mendidik anak mnjdi mandiri.

    Liked by 1 person

    • Thanks kak udah mampir di blog saya. 😉

      Thanks juga untuk komentar dan pendapatnya. Hihi.. Balik lagi kak itu hanya pendapat sy. Karena bnyak dr tmn sy yg sebelumnya terlihat blm siap scra psikologi ato psikis yg bisa dilihat (salah satunya) dari behaviornya, tapi krn brtemu dgn suami (terutama) yg memang karakternya hebat, pelan2 behavior yg sbelumnya berubah. Pengalaman aja sih. Barangkali itu kenapa para org tua di hasil acra FGD kk itu beralasan sperti itu. 😄

      Like

      • Ideeeem dek…
        Hehehehe

        Behavior akan berubah krn psikologis nya sudah siap. Krn klo menurut sy sih psikologis akan lari ke mental. Jika mental tdk d persiapkan untuk perubahan perilaku dmasa transisi maka akan sulit bahkan tak jarang banyak yg menyerah dg kondisi.

        Mngkin sy sedikit keliru memahami bahwa dalm tlsan tsb adk scra tdk langsung menyebutkan diri bahwa blm siap scra psikologis. Namun nyatanya menurut penglihatan sy bahwa adk itu sudah mmpersiapkn hal tsb jauh2 hari.
        Dan mental adk untk itu sudah sangat siap menurut sy sih.

        Liked by 1 person

      • hehe.. seru nih diskusi sama kk..

        cuma share pengalaman aja sih, yg menyerah dengan kondisi itu menurut sy karena si pasangan suami maupun istrinya sama-sama belum kuat pribadinya kak, terutama suami, dimana segala keputusan rumah tangga dia yg memutuskan. Ini dari penglihatan sy aja sih, ngelirik pengalaman org2 di sekitar sy 😉

        balik ke kesiapan psikologi, di tulisan itu sy bilang bukan hal yg utama utk dipersiapkan, namun bukan berarti menghilangkan nilai kepentingannya kan? hihi. silakan siapkan semampunya.

        ohya, kk bener sy memang mmpersiapkan segala sesuatunya sbelum dijemput oleh si pangeran (hehe), tapi kenyataan nggak selalu sama dg yg direncanakan atau yg dibayang2kan sebelumnya. dan ketika saya bilang “ya, saya siap 100% lahir bathin”, gak ada yg jamin bahwa saya memang bener2 siap, karena kondisi realnya sy belum tau. gk ada yg jamin bahwa perasaan sy, mental saya dllnya akan mulus2 aja, buktinya banyak hal yg surprised, kadang sulit dipahami, sampai membawa pikiran2 negatif, menurut sy disitu peran suami, kalo sudah kuat pribadinya, yg dilihat dari tutur kata, perlakuan dll, insya Allah hal-hal negatif tadi pelan-pelan hilang kak…hihi. gmana menurutnya kak?

        cuma pendapat sy aja sih 🙂

        Liked by 1 person

      • Hahahahaha

        Oh iya lupa, terkait menyerah pd kondisi atau ke adaan ini sy lebih melihat k si perempuan. Krn dmna perempuan scra psikologis atau mental belum siap untuk itu akan membuat diri nya menyerah dalam hal tsb. Menyerah dalam artian tdk bisa berbuat apa apa, lebih ke pasrah saja, tdk terbangun inisiatif untuk melakukan perubahan perilaku ke arah yg positif melainkan ke arah yg pasif, yg mana ujung2 nya memperkuat laki2 untuk patriarki.
        Dan memang sepeti d sebutkan adek, ttg pribadinya yg blm kuat dr kedua belah pihak.

        Kembali k kesiapan psikologi, memang benar tdk menghilangkan nilai kepentingannya. Tetapi bukan prioritas.
        Namun dr pandangan sy nih ya… Ahahah hal yg pertama d siapkan oleh laki atau perempuan untuk menikah adalah psikologi nya, krna itu berkaitan erat dg mental dan kepribadian. Jika ini sudah kuat, maka insya Alloh akan lebih mudah menyamakan persepsi d dalam membangun rumah tangga. Disana akan muncul kedewasaan dalam berfikir dalam mensiasati segala situasi rmh tangga.

        Agar d rmh tangga yg d bangun bisa seimbang dalam pembagian perannya.

        Hahahahahaha
        Iya seru jg ini pmbahasannya dr sudut pandangnya bapak2 dan ibu2… Hahaha

        Liked by 1 person

      • hihihi…. spertinya diskusinya mulai mengerucut, pendapat pribadi aja berarti ya.. tapi pendapat kk tadi berguna banget terutama buat sy, jadi belajar menilai n ngeliat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Thanks ya kak. hihi

        Like

      • Hehehehe
        Maaf kan sebelumnya y…

        Perasa. Krn perempuan tdk bisa lepas seutuhnya dr sifat perasa nya. Namun terkadang itu yg membuat perempuan menjadi lemah.

        Sehingga kesiapan psikologi itu sangat penting dalam membangun mental maupun kepribadian. Krn bagi sy dr sana akan muncul kedewasaan, bukankah kedewasaan tdk di ukur dr usia?
        Hehehe

        Harapannya dengan demikian patriarki dapat berkurang dan memberikan ruang bagi perempuan untuk memilih memilah sehingga dpt lbh bertanggung jawab dg perannya, tentunya dg komunikasi yg baik dalam rmh tangga.

        Sedikit share sekrang d kalangan bpk2 mulai ramai beredar lelucon seperi ini “walau bagaimanapun dl rmh tangga itu, perempuanlah yg mengambil peran mengelola keuangan. Namun, jika perempuan itu tdk sanggup atau tdk mampu, maka perempuan tsb harus waspada. Krn akan besar kemungkinan akan kedatangan perempuan lain untuk membantunya”

        Bagaimana ibu2?

        Liked by 1 person

      • bener banget, kedewasaan gak diukur dari usia. Sbg muslim, memperbanyak ilmu agama lalu menerapkannya insya Allah bisa menambah kedewasaan. karena agama sudh mengatur semua hal ttg hidup dan kehidupan. Termasuk di dalamnya gimana biar siap berrumahtangga. Tapi kesiapan itu gak akan bisa ternilai oleh kita sebelum meluncur ke medan realita. banyak org yg ketika belajar sesuatu, dia jadi tahu tapi tdk menerapkan. Aduh bahasa sy jadi serius dan spertinya akan memanjang. sudah lah, kayaknya seru nih jadi bahan diskusi kalo ketemu kak. Trus itu paragraf terakhir bisa dihapus kak? kuping saya kok gatel ya dengernya. wkwkkk…
        itu menurut sy lelucon yg menggambarkan betapa tidak berhasilnya seorang suami dlm membimbing istrinya. hihihi. karena walaupun istri yg mengatur keuangan, tetap suami yg punya kendali. suami harus tau detailnya kemana aja uang itoe. wkwkkk

        Like

      • Oh iya yg terakhir sy setuju, peran suami. Namun itu tdk terlepas dr kesiapan si isteri. Krn si isteri yg tdk kuat mental maka akan sulit menerima bahkan akan merasa lebih tertekan dan menganggap itu sbg beban. Dan akan terperangkap dalam sikap perasa nya.

        Jika hal itu terjadi maka sang suami akan berkerja lebih lebih giat untuk memposisikan diri dll.

        Hahahahaha

        Liked by 1 person

Leave a comment